Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta. Dalam bahasa Sansekerta, kata “malioboro” bermakna karangan bunga. Hal itu mungkin ada hubungannya dengan masa lalu ketika Kraton mengadakan acara besar maka Jalan Malioboro akan dipenuhi dengan bunga.

Ada pendapat bahwa nama Malioboro berasal dari kata Marlborough—gelar Jenderal John Churchill (1650-1722) dari Inggris. Namun pendapat ini disanggah dengan adanya bukti sejarah bahwa jalan Malioboro sudah ada sejak berdirinya Ngayogyakarta Hadiningrat. Peter Carey berpendapat bahwa Jalan raya ini telah dibangun dan digunakan untuk tujuan seremonial tertentu selama lima puluh tahun sebelum orang Inggris mendirikan pemerintahannya di Jawa.

Konon Malioboro dimaknai sebagai perjalanan menjadi wali (mali) dan ‘oboro’ yang berarti mengembara. Secara singkat, kawasan Malioboro yang terdiri dari dua nama jalan utama yakni Margo Mulyo dan Margo Utomo, adalah bagian dari konsep Sangkan Paraning Dumadi, atau perjalanan manusia dari lahir hingga kembali kepada Sang Pencipta.

Sangkan Paraning Dumadi memiliki simpul-simpul utama yakni Panggung Krapyak-Keraton Yogyakarta-Tugu Jogja. Panggung Krapyak ke Keraton melambangkan sangkaning dumadi, atau perjalanan manusia sejak lahir, dewasa, hingga memiliki anak atau keluarga. Sementara, Tugu menuju keraton yang melalui Malioboro, melambangkan perjalanan manusia menuju akhir hayatnya. Konsep ajaran Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) ini telah ada sejak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta pada 1755.

Malioboro dulunya berfungsi sebagai rajamarga/jalan kerajaan, yang digunakan untuk kegiatan seremonial atau pun penyambutan tamu negara. Salain itu, di area Malioboro juga terdapat Kepatihan sebagai pusat pemerintahan dan Pasar Gede sebagai pusat perekonomian. Pasar Gede yang awalnya hanya tanah lapang, berkembang pesat dan mendapatkan julukan pasar terindah di Jawa.

Pada sekitar tahun 1870-an, mulai berkembang sentra ekonomi di Yogyakarta seiring terbitnya Undang-undang Agraria. Mulai tahun tersebut Hindia Belanda melaksanakan politik kolonial liberal atau disebut juga dengan Politik Pintu Terbuka (open door policy). Penanaman modal swasta mulai diperbolehkan masuk dan aturan kepemilikan tanah diperketat pada masa ini.

Adanya modal asing yang masuk, pada periode ini, mulai banyak dibangun stasiun, bank, pusat perdagangan, dan sekolah. Perekonomian semakin cepat berputar dan industry berkembang, salah satunya gula. Selanjutnya, pada awal abad ke-20, terjadi peningkatan jumlah pendatang di Yogyakarta dan membuat Malioboro menjadi jalan pertokoan paling sibuk hingga saat ini. Begitulah perkembangan jalan Malioboro dari jalanan yang sepi dipenuhi pepohonan menjadi pusat perbelanjaan di Yogyakarta.

Malioboro sebagai jalan yang penuh makna filosofis akan kembali ditata sehingga tidak hanya digunakan sebagai pusat perbelanjaan saja. Malioboro menyimpan banyak kisah dan sejarah yang bisa memantik siapa saja yang melaluinya untuk merenungi kehidupan.

Konsep penataan wilayah Malioboro sudah lama digagas oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DIY. Tidak hanya sekadar memindah para pedagang kaki lima (PKL) tapi juga memikirkan seluruh aspek kebutuhan mereka agar lebih nyaman dan aman dalam mencari rejeki. Para PKL akan mendapatkan jaminan kepastian dalam berjualan menyangkut legalitas, status informal menjadi formal, program pembinaan, serta promosi.

Pendaftaran dan konsolidasi internal PKL sudah mulai dilakukan pada 22 – 31 Januari 2022. Pendaftaran dilakukan untuk menentukan titik lapak masing-masing paguyuban. Setelah peresmian gedung baru tanggal 26 januari 2022 mendatang, semua PKL Malioboro akan sepenuhnya dipindah pada tanggal 1 Februari 2022. Mulai bulan Februari 2022 tidak ada lagi PKL yang diperbolehkan berjualan di bagian selasar jalan Malioboro.

Total keseluruhan PKL yang direlokasi sebanyak 1.832 dengan total 799 PKL bertempat di gedung eks Indra dan 1.033 PKL di gedung eks Dinas Pariwisata. Rincian penempatan PKL di gedung eks Indra adalah Pemalni (431 PKL), Handayani (60 PKL), Padma (23 PKL), Sosrokusumo (11 PKL), PPMS (32 PKL), Akik/Pigura Senopati (37 PKL), PPKLY Unit 37 (83) PKL, PKL Jl. Pewakilan (4 PKL), papela (60) PKL, Titik Nol (40) PKL, dan Sepatu Jl. Mataram (19 PKL). Rincian relokasi di eks Dinpar adalah Tri Dharma (923 PKL) dan PPLM/Lesehan (65 PKL) dan Titik Nol (45 PKL).

Sumber : https://jogjaprov.go.id

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *